Radiomelodypersfm.com, DUMAI-Yang tak terelakkan dari adanya perubahan iklim adalah dunia yang dipaksa berubah, ke kondisi yang lebih buruk. Di antara yang terpengaruh, semuanya terdapat di sekitar kita, adalah kebersihan udara, kesuburan tanah, dan kualitas air. Bisa dikatakan, bila tak diatasi, pemanasan global berpotensi mengacak-acak siklus air.
Sulit dibantah betapa kini banyak satwa perairan laut yang bermigrasi ke kawasan yang lebih patut dan aman bagi mereka--agar bisa bertahan hidup. Air pun terus-menerus menyerap polutan, yang menyebabkan manusia menderita penyakit. Dalam hubungannya dengan sumber daya alam, pemanasan global tak memilih-milih dan mengenal batas. Karenanyalah manusia mesti belajar memahami masalahnya dan sebisa mungkin ikut berupaya menghentikan kerusakan yang terjadi.
Salah satu fakta yang tak terbantahkan adalah suhu yang bertambah tinggi mengakibatkan naiknya derajat keasaman laut. Kondisi ini menyulitkan kehidupan laut untuk bertahan. Data yang sejauh ini bisa dicatat menunjukkan laut menyerap 30 persen CO2 dari atmosfer. Semakin meningkat polusi udara, bertambah pula derajat keasaman laut. Bila selama ini pohon dipercaya sebagai pemasok oksigen terbesar di dunia, kenyataannya justru lautlah yang menjalankan peran itu. Tapi kini, berkat kelakuan manusia, kondisi laut terus memburuk, dan kehidupan laut menjadi tertekan oleh lingkungan yang semakin tak mendukung.
Kelakuan manusia itu juga menyebabkan pola hujan kian sulit diperkirakan sebagaimana di masa lalu. Cuaca ekstrem telah menjadi fenomena di banyak tempat di dunia—orang bertambah sering mengalami hurikan, tornado, dan topan. Karena hujan sulit diprediksi, pertanian langsung merasakan akibatnya. Petani tak bisa lagi memperkirakan waktu terbaik untuk mulai menanam. Kenyataan yang mereka hadapi: panen menghadapi risiko kekeringan atau diporak-porandakan oleh badai. Pada 2018, misalnya, petani di Eropa sia-sia bergumul dengan suhu panas yang tak biasa, curah hujan yang menipis, dan hasil pertanian yang buruk.
Kondisi sebaliknya terjadi pada masyarakat yang tinggal berdekatan dengan garis pantai. Mereka menanggung kerusakan akibat empasan air yang menghanyutkan atau lumpur yang mengubur harta benda. Penyebabnya adalah permukaan air laut yang meninggi akibat es di kutub meleleh. Pelajarannya: air yang berlimpah tak selalu berarti baik.
Ada yang membuat perumpamaan begini: andaikan, secara proporsional, seluruh air yang terdapat di bumi dimasukkan ke dalam buyung, bagian yang layak minum tak lebih dari sesendok. Bayangkan berapa banyak air yang digunakan atau dibuang orang setiap hari. Bagi sebagian orang, khususnya yang mempunyai akses terhadap air bersih, air memang terlihat melimpah. Sebaliknya, untuk sebagian yang lain, yang setiap hari mesti bergulat mendapatkan air yang aman, hal yang bertolak belakanglah yang dialami.
Tetapi kondisi yang sama, yang dialami oleh mereka yang tak mempunyai akses, bakal menjadi kenyataan bersama. Hal ini tak terhindarkan bila pemanasan global, yang mencerabut keseimbangan sumber daya alam, terus berlangsung.
Temperatur yang terus naik, udara yang memanas tiada henti, memperburuk dan menimbulkan kekeringan. Kondisi ini, pada gilirannya, menyulitkan upaya mengamankan air. Tanah dan tanaman pun kehilangan air. Akibatnya, siklus air secara keseluruhan ikut terpengaruh.
Sebetulnya evaporasi atau penguapan itu berpeluang meningkatkan butir-butir air di angkasa dan menimbulkan hujan disertai badai. Sayangnya banyak orang tak punya perkakas untuk menampung air yang tercurah dan mengolahnya secara aman. Sia-sialah jadinya: air itu mengalir saja ke sungai dan danau.
Yang mengkhawatirkan: gelontoran air hujan itu mengandung bakteri, nutrisi, kotoran hewan, dan lain-lain. Ada nutrisi, kedengarannya bagus. Tapi kenyataannya tak demikian, karena nutrisi itu justru menyuburkan tumbuhnya ganggang beracun.
Namanya racun, ganggang itu tak aman bagi kehidupan laut dan manusia, karena menurunkan kadar oksigen. Ada pula jenis yang mengeluarkan racun saraf yang mengganggu sistem saraf dan reproduksi. Semakin banyak ledakan ganggang tersebut di suatu area, kian kecil peluang air aman dikonsumsi manusia.
Tentu saja, kondisi yang terus memburuk masih bisa dihindarkan hanya bila manusia mau mulai bertindak. Misalnya dengan melakukan konservasi. Mandi bisa dilakukan dalam tempo yang lebih singkat ketimbang biasanya. Irigasi dilakukan dengan presisi tinggi, hanya mengarah ke lokasi tertentu. Tindakan-tindakan penghematan ini berpeluang menjadi awal perpanjangan usia air dan upaya mengembalikan kualitasnya yang ”luntur”. *Dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar